Langsung ke konten utama

KEMBALI DI NEGERI 1000 CURUG

Jalanan berkelok dengan pemandangan bukit di kanan kiri seolah menahan kalimat "masih lammmaaaa?" untuk tidak terlontar. Ya, alam di bagian utara Purbalingga memang dikenal mempesona. Salah satunya Curug Kali Karang.

• Oleh : Anita Wiryo Rahardjo •

Curug Karang atau Curug Kali Karang sudah lama masyur di kalangan pecinta travelling. Muda-mudi pun sudah sejak dulu memanfaatkannya sebagai objek wisata alam. Hanya saja bagi yang hendak bernostalgia ke curug ini, siapkan uang pecahan Rp. 5.000,- untuk biaya masuk per orang. Murah ya ? Apalagi ini sudah plus asuransi. Curug karang ada di dusun Buret, desa Tanalum, kecamatan Rembang.



Tanalum memang surga bagi pecinta curug. Jika sebelumnya curug Aul mampu mendinginkan pikiran, maka curug Karang ini cenderung beraura hangat. Cocok untuk dinikmati bersama keluarga.

• Sungai Karang

Siang itu, sungai Karang yang mengalir deras si bawah curug malah menggoda hati. Mungkin karena tak lagi jamannya takut pada Puterajala ya, maka bedug-bedug di sungai pun tak lagi soal. #ngomongopo. Di saat pengunjung asyik menikmati panorama, maka penduduk setempat juga tengah masyuk dengan aktivitas menambang. Satu karung pasir di punggung menjadi penanda mereka siap menyebrang. Sebelum kemudian kembali lagi ke sungai. Begitu seterusnya.

Tampak beberapa perempuan sepuh. Ya, semua yang di penambangan ini memang tak lagi berusia muda. Saya mencoba mendekat. Namun mereka enggan bersuara. Entah karena wayah bedug, jam kerja atau karena saya ini orang asing yang seharusnya duduk anteng saja di gazebo.

Pandangan kembali beredar. Dekat dengan curug, seorang ibu tampak mencuci. Tidak dibilas dibawah curug kok. Tenang saja. Hanya di pinggiran sungai. Memang, ada beberapa penjual disini. Ibu ini juga salah seorang penjaga warung di pinggir curug. Jadi kalau terlupa tak bawa bekal, kita tinggal pesan saja. Kopi atau mie instan. Tanpa perlu beranjak jauh dari curug.

Warga juga memandikan sapi di sungai Karang.

• Dilarang mandi

Curug Karang kerap disebut juga Curug Sumilir. Ini seperti nama pertigaan yang menuju ke arah curug. "Nanti di pertigaan Sumilir, ikuti arah ke Pasar Pon. Lurus saja. Mentok jalan", terang seorang penduduk. Tak perlu takut tersasar, di beberapa persimpangan jalan besar papan petunjuk menuju curug pun tersedia.

Curug Karang menawarkan air yang deras. Undakan paling bawah memang tak tinggi. Namun tak berarti tak waspada. Kedung diatasnya bahkan dipasangi peringatan "Dilarang Mandi". Seorang anggota Pokdarwis mengatakan bahwa lokasi tersebut kerap meminta korban. "Itu sih dulu banget, sebelum terkenal. Tapi buat jaga-jaga, mending kalau mau mandi ya di bawah curugnya saja. Aman", tambahnya.

Saat ini Curug Karang mencoba terus berbenah, agar pengunjung lebih dapat menikmati suasana. "Biasanya ramai kalau hari Minggu. Ada 100 sampai 200 an pengunjung", pungkasnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...