Langsung ke konten utama

AYO DOLAN MARING CURUG AUL


Jelang akhir pekan. Saatnya menetapkan destinasi wisata. Tak usah jauh-jauh ke luar kota. Cukup di Purbalingga saja. Apalagi disini tersimpan kekayaan alam tersembunyi yang mempesona. Salah satunya adalah Curug AUL.

Yap, Purbalingga memang dikaruniai alam yang indah. Wilayah utara Purbalingga yang didominasi dataran tinggi tak hanya menyimpan peninggalan prasejarah namun juga yang nyata-nyata terlihat. Banyaknya curug alami. Bahkan sebutan kota dengan seribu curug pun tersemat. Nah, kalau menurut wikipedia curug atau air terjun adalah arus air yang mengalir melalui formasi bebatuan yang mengalami erosi dan jatuh ke bawah dari ketinggian. Ketinggian antara curug satu dengan lainnya akan berbeda. Ada pula yang berkarakteristik tunggal dan tak sedikit yang sebaliknya. Bertingkat dan berkelok. Lalu bagaimana dengan curug Aul ini ? Okay, let see.

1000 CURUG

Curug Aul terletak di dusun Pucung Rumbak, desa Tanaum, kecamatan Rembang. Tanalum adalah saah satu desa yang memiliki sejumlah curug menawan. Bahkan, konon ada 7 curug yang juga sering dikunjungi. Sebut saja curug Panyatan, Karang, Lampeng, Gogot, Sendang, Nagasari, dan curug Aul. Musim kemarau seperti sekarang sepertinya akan lebih tepat untuk kita berpetualang di alam terbuka. Apalagi medan yang dilalui pun cukup menguras energi.

Untuk menuju curug aul, saya mengambil rute dari Purbalingga - Kaligondang - Pengadegan - Bantarbarang - Losari - Tanalum.  Dan ketika sudah memasuki Tanalum, kita hanya tinggal mencari lapangan dusun Pucung Rumbak. Dari sini, petualangan akan segera dimulai. Tenang saja, jalan sudah aspal kok.

 Aduuuh, autofocusnya beneran rusak ya ? Begini deh hasil fotonya

Penunjuk arah ke curug sebenarnya sudah terpampang di dekat lapangan. Kita bisa mengikuti anak panahnya. Tapi kalau kurang yakin, bisa saja meminta bantuan pemuda setempat untuk mengantar. Kebetulan disana juga sudah terbentuk Pokdarwis. Siang itu, saya memilih jalan-jalan saja dengan beberapa teman tanpa pemandu. Arahan warga sempat membuat kami bingung. Ada yang menyebut langsung saja naik ke bukit di dekat lapangan, namun ada juga yang mengarahkan melalui pematang di sebelah lapangan. Mana yang benar ? Mending coba saja keduanya.

Lapangannya di sebelah kiri foto


Karena jalan lurus mengarah ke bukit, maka kami memutuskan naik terlebih dulu. Ada jalan setapak, namun kelihatannya sebagian sudah rusak. Jalan ini hanya satu-satunya ke atas. Lebih baik sih jalan kaki, sekalian hiking. Kalau nekat pakai sepeda motor, ada beberapa tanjakan yang cukup berbahaya. Selain sempit, jalanan ini juga berbatasan dengan jurang disalah satu sisinya. Kita juga akan melewati kebun warga dan hutan pinus Perhutani yang memberikan kesejukan tersendiri sepanjang perjalanan. 


 Pos pertama

Ternyata benar, tempat ini memang sudah diwacanakan sebagai objek wisata baru. Selain jalan halus di depan sana, ada juga pos pemberhentian. Namun ada juga yang menyebutkan sebagai pos pemantauan hutan. Entahlah mana yang lebih tepat. Intinya disini kita bisa istirahat juga kok. Tidak jauh dari pos pertama, saya dibuat geli dengan terdengarnya "konser" dangdut dari rumah warga yang jauh dibawah sana. Haha, goyang dulu baanng. Nah, tidka jauh dari pos pertama, kita bisa menyaksikan pemandangan Purbalingga dari atas. Luar biasa. Dan di titik ini yang tidak jauh dari pos kedua, telah diwacanakan sebagai camping ground. Seru juga nih

Nah, didekat pos kedua kita akan bertemu dua jalan kecil. Yang satu menanjak dan menuju ke mata air Kali Aul. Sedang yang kedua, jalanan menurun itu ternyata menuju ke titik dimana curug Aul sudah ada didepan mata.

KEDUNG KEMBAR
 

Saya dan teman-teman memilih langsung ke curug saja. Air terjun bertingkat dengan kedung jernih dibawahnya membuat kami takjub pada ciptaan-Nya ini. Dari sini, dapat saya mengerti mengapa warga setempat kerap menyebutnya sebagai kedung kembar. Ternyata di bawah mata air juga terdapat kedung serupa dengan kedung yang di depan mata ini. Jadi ada dua air tejun dan ada dua kedung. Seperti kembar. Oya, bicara soal namanya, bagi sebagian orang Jawa pasti tau ya jika aul itu berarti anjing hutan. Konon memang dulunya ditempat ini banyak terdapat binatang tersebut. Beruntung, sepanjang jalan kami hanya bertemu sejenis primata dan tupai saja. *Legaaaaa.

Curug ini belakangan ramai dikunjungi para pecinta canyon. Biasanya pada hari-hari tertentu mereka akan menantang derasnya air terjun setinggi sekitar 50 meter ini. Cocok banget untuk para pecinta petualangan. Dibawah curug Aul ini konon masih berderet curug lain yang tak kalah indah. Benarkah ?

BANYAK CURUG

Dari kejauhan pesona air terjun lain tampak menggoda kami untuk mencoba rute lain

Karena tanpa persiapan matang, akhirnya kami memutuskan turun dan mencoba mencari curug lain melalui jalur pematang. Sebuah pintu bambu mengantarkan kami ke lorong petualangan berikutnya. (Tepat dibawah bukit ini). Jalannya sudah semakin membingungkan. Karena tanpa penunjuk arah sama sekali. Namun dari suara gemericik air, kita bisa menerka-nerka dimanakah curug itu bersembunyi. Beberapa warga menyarankan kami untuk mencari curug Nagasari atau yang merek asebut dnegan curug Tinggi, Kedung Banger dan Goa Macan. Namun karena saat itu jalur ke Curug Nagasari longsor, kami memutuskan berganti arah dan menemukan beberapa curug mini. Kedung Banger dan Goa Macan tidak dapat kami temukan. Sepertinya lain kali kami harus benar-benar menggunakan jasa pemandu. 

 Katanya kalau kami teruskan rute ini, bisa sampai ke curug Aul lagi.

  Nah, yang ini curug apa ya ?

Ya, wacana Tanalum sebagai Desa Wisata sepertinya masih perlu sentuhan sana-sini lagi. Jangan sampai wisatawan dadakan seperti kami-kami ini harus kebingungan mencari lokasi. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...