Langsung ke konten utama

Hembusan Angin di Siangin


"Kapan-kapan ke Curug Siangin lagi yuk", sms salah seorang teman lama ini seperti menyeret memori saya pada suasana sejuk dan hamparan bianglala indah di salah satu sudut Purbalingga. Wuuuaah, jadi pengen kesana lagi nih. 

 
Meski namanya belum seterkenal Curug Nini ataupun Curug Cipothat, namun banyak hal menarik yang bisa kita dapatkan dari Siangin. Jangan bayangkan hal menarik ini adalah hal mistis berupa penampakan (mungkin) hantu seperti yang didapat ketika kita googling kata Siangin. Lalu apa dong ? Selain keindahan alamnya, kondisi medan yang cukup sulit juga menjadi tantangan tersendiri. Ditambah kabar tentang masih adanya babi hutan yang sesekali nyelonong di lokasi akan menjadi pemicu adrenalin. Padahal sih kalau apes ketemu binatang ini ya paling-paling cuma bisa pingsan. Hehehe. Tapi sebenarnya nggak aneh juga kalau sampai ada babi hutan. Lha wong lokasinya memang cukup jauh dan berada di "tuk" (mata air)nya Sungai Klawing kok.

 

 Sempet mampir beli cabai dulu. Hehehe, beginilah kalau jalan-jalan sama emak-emak…..

 Suasana di perjalanan.
  
Curug Siangin terletak di desa Tlahab Kidul Kecamatan Karang Reja.Tepatnya di Blok Sigluthak, dukuh Siletreng, Tlahab Kidul. Dan seperti umumnya setiap perjalanan ke sebuah curug, tidak akan ada lift ataupun eskalator yang mempermudah kita. Yang ada hanyalah jalan setapak. Dua tahunan lalu ketika kesana, setapak ini sempat menipu saya dan teman-teman. Kami pikir jalan ini akan mengantar sampai depan curug. Nyatanya, setapak ini hanya sepanjang sepuluh meteran saja. Jarak pendek ini tak terpantau dengan baik lantaran harus naik turun juga. 

 
 Gemana mau lari coba kalau babi hutan datang di lokasi begini ?
  
Dan petualangan benar-benar dimulai ketika kami harus menginjakkan kaki diantara pematang sawah dan ladang warga. Seketika bayangan akan munculnya babi hutan membuat saya bergidik ngeri. Beberapa skenario pun terpikir. Mulai dari terjun kesungai dibawah pematang yang menjadi rute kami sampai naik pohon kelapa yang tampak beberapa di sepanjang perjalanan. "Kalau yang didepan ketemu babi hutan larinya jangan lurus ya tapi belak-belok", teriak salah seorang teman yang dibarisan belakang. Dieeeewww, pikiran pun makin jadi nggak karuan. Tapi irama jatuhnya air membuat kami semakin bersemangat melawan rasa takut kalau saja bertemu babi hutan. Percikannya yang mengenai batu membiaskan embun yang menciptakan efek sejuk di sekitar curug. Dan ini sudah bisa kami rasakan. Tak terasa kurang lebih hanya berjarak seratus meter dari jalan setapak tadi, kami sudah mendapati hamparan pemandangan indah yang nyata di depan mata. (Haha, saking lumayan beratnya perjalanan, temen saya -difoto sebelah ini- memilih sampai belakangan dengan sedikit merayap.)
 
Air terjun setinggi sekira 15 meter yang mengalir diantara tebing berwarna hitam pekat membawa aura damai dan segar. Pantulan mentari menghasilkan efek pelangi yang muncul dibawah air terjun. Rasanya sudah sangat tidak sabar untuk mendekat. Beruntung sebuah batu berukuran sedang memperingatkan langkah saya untuk tetap waspada. Ternyata kami harus bertemu bebatuan besar dan beberapa terasa sangat licin di kaki.

Udara di sekitar curug terasa cukup kencang berhembus. Dan menurut Barwono, salah seorang seniman setempat yang juga mengantarkan jalan-jalan kami, faktor inilah yang kemudian membuatnya dinamakan Siangin. Curug Siangin merupakan hasil pertemuan Sungai Klawing dibagian atas dengan Sungai Sibaya. Waaah, dimana-mana sepertinya saya masih harus bertemu dengan Sungai Klawing ya. 

Seperti halnya sebuah tempuran atau lokasi pertemuan antara minimal dua sungai, Siangin pun kerap menjadi tempat ritual bagi mereka yang mempercayai. Konon, mereka yang mandi pada malam-malam Kliwon di tempat ini akan memperoleh keberuntungan. Mulai dari jodoh, penghasilan dan lainnya. Dududududu, kalau nyari jodoh disini kira-kira saya ketemunya siapa ya ? :P

Dua teman ini ngajakin mampir dulu ke sungai Klawing di bagian atas. Kecil ya ? Eh, kok kenapa saya nggak difotoin juga sih ????!!!! Giliran difoto cuma dapet punggung *Tersungut-sungut.


Memang sih curug ini cukup ramai dikunjungi muda-mudi saat weekend. Namun ketiadaan juru pelihara membuat kita kesulitan jika ingin mendapat informasi lebih dari Curug ini. Tapi yang jelas sih, jadi pengen kesana laaaaagggiiiiiiii.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...