Dalam
beberapa waktu terakhir saya memang ubak-ubek di dalam kota. Sambil
berharap menemukan hal-hal menarik di dalam kota selain bangunan peninggalan
kolonial. Beruntung salah seorang teman -namanya Ahmad Surabeni-
menyarankan saya mengunjungi makam Narasoma.
PRITGANTIL
Tidak jauh
dari pusat pemerintahan, kita bisa menemukan Makam Narasoma di salah satu
kompleks Pemakaman Umum. Tepatnya di dukuh Pritgantil, Purbalingga Wetan.
Berada di timur perempatan Pasar Mandiri, membuat tempat ini mudah dicari Nama
Narasoma memang cukup akrab. Bagi para pecinta wayang kulit, mungkin sudah tidak
asing ya dengan nama tokoh penerima ajian Candra Bhirawa ini. Tapi
siapakah Narasoma yang dimakamkan di Pritgantil ini ?
Ahmad
Surabeni mengantarkan saya pada Pak Wardi , juru kunci Makam Narasoma.
Ditempatkan dalam bangunan yang belum lama direnovasi, Wardi mengajak kami
masuk. Namun siang itu nyali saya kok menciut tanpa sebab. Daripada menanggung
malu, hehe sayapun memilih melihat makam Narasoma dari balik pintu saja. Dalam
ruang berukuran sekira 4 x 3 meter ini tampak nisan berwarna gelap ditempatkan
sendirian. Wardi mengatakan makam ini sengaja diletakkan terpisah karena banyak
peziarah yang secara khusus mengunjunginya. Pengunjung terjauh datang dari Pulu
Dewata, bali. "Selain itu keluarganya juga masih sering datang", katanya.
Ya, meskipun Pemakaman Umum, namun kompleks ini sebagian besarnya terisi anak
keturunan Narasoma. Nah, kembali lagi pertanyaannya, siapa Narasoma ini ?
DEMANG
Secara
turun temurun Wardi hanya mendengar jika Narasoma adalah salah seorang tokoh
yang cukup berpengaruh di jamannya. Orang sakti yang tidak diketahui dari mana
asalnya. Namun satu cerita dari mulut ke mulut dipercayainya. Bahwa Narasoma
pernah bertapa di dalam sebuah batang pohon yang sangat besar. Ketika pohon
tersebut tumbang, maka moksa jugalah sang tokoh. "Makanya ada beberapa
orang bilang kalau yang dimakamkan disini ya batang pohon tumbang tersebut.
Kebenarnnya saya sendiri tidak tahu", kisahnya.
Terkait
sejarah sang tokoh, Wardi menyarankan kami menemui anggota keluarganya. Namun
karena tidak bertemu sasepuh dari anak cucu Narasoma ini kami disarankan
menemui Triatmo yang juga aktif menulis Babad Purbalingga. kaabrnya, Triatmo
adalah salah seorang yang pernah mencatat sedikit ulasan tentang Narasoma ini.
Narasoma
semasa hidupnya adalah seorang Demang Timbang. Demang adalah jabatan setara
Kepala Desa ssat ini. Dalam sejarah Purbalingga dahulu memang terdapat 21
Kademangan yang dibentuk oleh Belanda dengan SK no 25 tanggal 20 Desember 1912
tentang Vrijstelingen Van Velastingen En Heren Dinsten. Kademangan TImabng
sendiri membawahi desa Timbang, Purbalingga Kidul, Kandang Gampang dan
Purbalingga Lor.
Menurut
Triatmo, Narasoma berasal dari kata Nara yang berarti Orang dan Soma atau Suma
yang maknanya Gemar Bertapa. Sehingga dari namanya kerap diartikan sebagai
orang yang gemar bertapa.
LEGENDA
Dikisahkan
ketika mengadakan hajatan menikahkan putrinya, Narasoma mengundang banyak tamu.
Selain itu digelar jugalah pertunjukan wayang kulit. Banyak orang penting hadir
menyaksikan pagelaran seni rakyat tersebut. Termasuk salah satunya sang
Adipati. Sebagai bentuk penghormatan, maka dikeluarkanlah hidangan untuk
menemani tamu agung ini. Namun setelah suguhan keluar, mendadak Adipati marah.
Hal ini dikarenakan adanya benda kecil berwarna hitam dalam hidangan. Adipati mengira
jika Demang Narasoma membubuhkan racun kedalam makanannya. Belakangan diketahui
dalam nasi yang dihidangkan terdapat bintik hitam yang ternyata nasi beras
hitam.
Atas
kejadian ini Narasoma berpesan agar orang-orang Timbang dilarang turun temurun
nanggap wayang kulit. Larangan ini berlaku juga bagi masyarakat desa-desa
diatas yang kemudian dikenal sebagai wilayah Bumi Keputihan.
(foto koleksi : Ahmad Surabeni)
Komentar
Posting Komentar