Langsung ke konten utama

MASJID AGUNG DARUSSALAM



Selain Alun-alun bunder, Purbalingga juga dikenal dengan Masjid Agung Darussalam yang kini menjadi salah satu landmarknya. Dan bahkan kini telah menjadi salah satu tujuan wisata religi. Keunikan dan kemegahan arsitekturnya mengingatkan kita pada Masjid Nabawi di Madinah.




Masjid Agung Darussalam terletak di Jalan Jambu Karang no. 1 Kompleks Alun-alun Purbalingga. Seperti lazimnya di wilayah Jawa, maka masjid terletak di sebelah barat Alun-alun sebagai lambang kebaikan berseberangan dengan Lapas.

Masjid ini termasuk salah satu Cagar Budaya yang telah mendapatkan SK khususnya untuk kategori Bangunan Cagar Budaya. Meski bentuk aslinya banyak berubah, namun beberapa sisa ataupun bagian asli bangunan semisal pondasi masih tetaplah asli yang terbangun sejak tahun 1800-an.

Dibangun 1853
Embrio Masjid Agung ini adalah sebuah mushola atau langgar yang sejak awal dibangun di pusat kota pada tanah seluas 5.500 m². Menurut Imam yang juga Ketua Ta'mir Masjid Agung, K.H. Noer Issja, dahulu atapnya masih berupa rumbia dan terbilang kecil. Baru pada 1853 M atau 1269 H oleh K.H Abdullah Ibrohim Nawawi dibangun permanen dengan luasan sekira 25 m². "Kayu yang asli bertuliskan angka 1853 sampai sekarang masih kami simpan di gudang, namun tidak dapat dipertahankan dalam bentuk bangunan karena memang sudah lapuk", ungkap K.H Noer Issja saat ditemui beberapa waktu lalu. Meski hanya seluas 25 m² namun pada saat itu sudah dapat dikatakan besar, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Agung.



 Saat pemugaran pertama tahun 1918

Kemudian pada tahun 1892, setelah K.H Ibrohim Nawawi lama meninggal maka kepengurusan masjid diambil alih oleh sang putra yaitu K.H Hardja Muhammad. Pada masa inilah berdasar perintah Raja Willem III, maka semua tanah di wilayah jajahan dipetakan. Status tanah yang semula dipakai menjadi diwakafkan dan dicatatkan di Kantor Agraria Purbalingga. Status tanah ini tercatat pada peta Zaakblad 2 Kotak D.7 BPN tertanggal 20 Februari 1892. Sekaligus pada waktu bersamaan para penghulu laandrat (petugas / pengurus agama pada masa penjajahan) diresmikan dan berpusat di Masjid Agung.

Dalam masa perkembangannya, pada 1918 oleh K.H Abdul Ammar, masjid ini kembali direnovasi dan diperluas dengan penambahan serambi ke depan dan beratap joglo. "Saat itu temboknya sangat tebal dengan kayu-kayu ratusan tahun yang diambil dari alas roban Pekalongan. Bangunannya masih awet sampai tahun 89-an", kisah K.H Noer Isjja. Selanjutnya pada tahun 1977 - 1985, tidak banyak terjadi perombakan. Salah satunya adalah penambahan kubah kecil di depan.

Masjid ini memang sempat 5 kali mengalami ronovasi. Dan pada pemugaran ke-4, rentang tahun 1989 - 1991, perombakan total terjadi. Dan masyarakat kemudian mengidentikkan Masjid Agung Darussalam dengan kubah besarnya yang dibuat pada 1991. Baru di tahun 2002 - 2004 pada masa pemerintahan Bupati Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si,  kembali masjid ini berubah tampilan seperti Masjid Nabawi.

Mirip Masjid Nabawi
Dengan khas dominasi warna hijau, 2 buah menara setinggi 33 meter dan bentuk muka, samping, interior serta berbagai ornamen yang tampak, semakin mengingatkan kita pada salah satu masjid indah di Madinah ini. Ya, inspirasi bangunan masjid agung ini memang berasal dari sana. Setelah Bupati Triyono Budi Sasongko dan teamnya melakukan survey ke tanah suci, tidak lama kemudian pembangunan pun direalisasikan dengan total anggaran  Rp.6.173.691.000. Dibiayai APBD untuk 3 tahun anggaran dan termasuk dana bantuan dari Gubernur Jawa Tengah.

Dengan bangunan seluas 1.900 m², masjid ini terbagi atas ruang serambi utama, serambi depan, ruang pendukung, selasar kanan, selasar kiri, selasar depan dan ruang sholat di lantai dua.

Meski terinspirasi dari masjid Nabawi, tidak berarti corak khas awal dihilangkan total. Terbukti atap joglo masih terus dipertahankan sampai sekarang. Paduan gaya arsitektur Arab dan Jawa yang menawan.

Wisata Religi
Dengan wajah baru inilah, Masjid Agung Darussalam terus dialiri kunjungan. Masjid ini seolah-olah dapat mengobati rasa rindu pada masjid Nabawi. Tidaklah mengherankan jika daftar kunjungan dan kegiatan keagamaan sangat padat di masjid ini. Bahkan sudah sejak 4 tahunan terakhir, peserta i'tikaf pun melonjak naik. Para peserta i'tikaf ini datang dari berbagai penjuru kota. Seperti Banyumas, Banjarnegara, Pemalang, Kendal dan sekitarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BATIK PURBALINGGA DIMULAI DARI ERA NAJENDRA

Sore yang terbalut hujan. Seketika nama udan liris mampir di pikiran. Eh, lalu bagaimana dengan truntum, kawung, lumbon, sekar jagad atau bahkan cebong kumpul ? Semarga kan ? (Oleh : Anita W.R.) Pertanyaan itu kian menggelitik setelah pertemuan pertama saya dengan seseorang ini terjadi pada Desember 2013. Satu kalimat yang saya ingat darinya adalah " Batik Purbalingga itu sudah punya khas sejak awal ". Antara takjub, bingung dan tidak mudheng , rangkaian penasaran itu saya endapkan hingga menuju 2 tahun. Ya, bicara Batik, banyak informasi, artikel sampai literatur yang membahasnya. Namun batik Purbalingga, hanya sekelumit yang saya ketahui. Padahal saya ada di kota ini sejak lahir dan tinggal dikelilingi beberapa pembatik sepuh. Memori saya pada bagian ini sepertinya tidak terlalu baik, sampai-sampai sulit membacanya. Tapi kalau boleh, ijinkan saya menyebut nama mereka satu per satu. Eyang Din, Mbah Sastro, dan Mbaeh Nana adalah nama-nama pembatik sepuh yang...

Petilasan Mundingwangi di Makam Wangi

Beberapa tahun silam, seorang sepuh sempat memperingatkan saya untuk tidak dulu memasuki Makam Wangi (Stana Wangi) karena salah hari. Namun kini dengan berstatus desa wisata, saya dapat mengunjungi Makam Wangi kapanpun sekaligus menikmati panorama desa Pagerandong, kecamatan Kaligondang. • oleh : Anita Wiryo Rahardjo • Agenda Sesaji Larung Gintung kembali membawa saya ke Makam Wangi. Banyak hal berubah setelah sekian tahun. Dulu, kami tidak disarankan mengendarai sepeda motor sampai di depan Makam Wangi karena jalanan yang ekstrem dan masih berupa kerikil tajam. Sekarang ? Mobil pun dapat melaju lancar. Namun tetap harus hati-hati. Kontur jalannya memang naik turun dan berkelok. • Di   dalam hutan • Dari kejauhan, tampak satu lahan seolah terpisah. Perbukitan. Rimbun ditanami pepohonan dan bambu. Inilah Makam Wangi. Lahan sekira 3 hektar ini tepat berada di tepi Sungai Gintung. Selain beragam bambu, kita dapat menemukan banyak jenis tumbuhan buah. Salah...

Brambang Jae dan Larangan Pementasan Wayang Kulit

Nama petilasan ini adalah Brambang Jahe. Nama yang unik ya? Cukup menggelitik tanya di benak, apakah di petilasan ini terdapat pohon bawang merah dan pohon jahe. Yang tentu saja jawabannya adalah tidak. Petilasan brambang Jahe ini sudah masuk dalam daftar inventaris Benda Cagar Budaya (BCB) kategori bangunan makam. Meski nilai sejarahnya masih dipertanyakan, namun kecenderungan masyarakat menyakralkan tempat ini dan juga folklore yang terus hidup menjadikan Brambang Jahe sebagai salah satu petilasan yang diistimewakan. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai kuburan Brambang Jahe. Brambang Jahe terletak di Kelurahan Purbalingga Kidul, tepatnya di utara Stadion Guntur Darjono Purbalingga. Dahulu, makam ini terdapat di tengah persawahan. Tidak ada seorangpun yang berani membongkarnya. Bahkan sampai ketika tempat tersebut disulap menjadi stadion skala nasional pun, Brambang Jahe tetap ada. Dan untuk melindunginya dari tangan-tangan jahil, dibangunlah pagar keliling pada ma...