JALAN-JALAN KE PETILASAN ARDI LAWET




Ardi Lawet merupakan salah satu brand yang cukup familiar, minimal di Purbalingga, Jawa Tengah. Beberapa badan usaha menggunakan nama tempat yang masih disakralkan ini. Seperti apa serunya perjalanan kesana ?



RUTE

Petilasan Ardi Lawet terletak di Panusupan, Karang Moncol. Ada dua pilihan rute untuk menuju lokasi. Pertama : berangkat dari kota Purbalingga - Kaligondang - Rembang - Rajawana - Panusupan atau rute yang lain adalah melalui Bobotsari - Karang Anyar - Rajawana - Panusupan.

Pilihan berangkat dari rute pertama lebih banyak dipilih karena lebih mudah. Sementara untuk perjalan pulang kita bisa memilih rute kedua.

Setelah sampai di Panusupan, pengunjung bisa menuju kediaman Mulyono (mantan Sekdes) untuk transit awal. Di tempat inilah kita bisa mendapatkan informasi mengenai sejarah Syech Jambu Karang dan juga meminta bantuan guide untuk menuju puncak. Mulyono yang juga dikenal dengan julukan carike ini adalah salah seorang sesepuh yang kerap mengantar peziarah ataupun tamu-tamu yang mencari info mengenai petilasan ini. Biasanya di griya ini jugalah, kita akan diarahkan naik pada jam-jam yang disarankan. Khususnya untuk pendakian malam. Bahkan, kadang pun pengunjung harus pulang jika tak diijinkan naik. Hmmm, semenarik apakah tempat ini ?

 Pak Mulyono


SEJARAH

Petilasan ini jadi sangat menarik untuk dikunjungi mengingat Ardi Lawet memiliki keterkaitan dengan penyebaran agama Islam di Purbalingga dan sekitarnya. Jauh sebelum masa Wali Songo.

Adalah Raden Mundingwangi atau ada juga yang menyebutnya Raden Mendang (kakak Raden Mundingsari) putra Raja Pajajaran yang naik tahta menggantikan Ayahandanya yang mangkat. Namun, bisikan hati untuk mencari cahaya atau nur membuatnya meletakkan tahta. Beliaupun memilih menjadi pertapa di Gunung Karang, Banten.

Sementara itu sang adik - yang sudah menjadi Raja - justru menerima wangsit berupa surat yang tidak dipahaminya. Utusanpun dikirim untuk menjemput Mundingwangi. Ternyata benar, surat itupun bisa dibaca Mundingwangi. Isinya adalah petunjuk tentang keberadaan cahaya di sebelah timur. Membaca pesan itu, Mundingwangi pun melanjutkan pengembaraannya dengan diikuti pasukan berjumlah 160 orang.

Dalam perjalanannya, sampailah Mundingwangi di desa Grantung, dimana cahaya itu menghilang. Dari Grantung ini dia kembali meneruskan langkahnya ditemani seorang pengikut yang diambilnya dari desa Grantung. Hal ini dilakukannya karena pasukannya telah habis dalam masa pengembaraannya yang memakan waktu lama. Pengikutnya ini kemudian dikenal dengan nama Kyai Santri. Dari sini, Mundingwangi terus menuju ke arah yang lebih tinggi dan tenang untuk bertapa. Dengan arahan petunjuk seorang penduduk, Ki Moneng, Mundingwangi pun sampai di Gunung Kraton.

Pada saat yang bersamaan, wilayah Pekiringan ternyata sudah dipimpin serang aulia bernama Syech Atas Angin. Merasa ada seorang asing yang masuk wilayahnya tanpa permisi, Syech Atas Angin pun menemui Mundingwangi yang sedang bertapa. Sebagai serang Muslim, Syech atas Angin mengucap salam. Namun sampai tiga kali tak kunjung dijawab. Beliau pun beranggapan jika pertapa sakti tersebut mengalami gangguan pendengaran.

Mundingwangi yang mendengarnya pun segera menghentikan semedinya. Usai berbincang keputusan adu kesaktianpun terucap. Aturan mainnya tidak boleh menghilangkan nyawa. Melainkan siapa yang kalah harus mengikuti keyakinan si pemenang. Dikarenakan gunung ini sempit dan sulit, maka adu kesaktian pun dilakukan di Grantung. Semua kesaktian yang ditawarkan Syech Atas Angin dapat diatasi Mundingwangi. Sampai akhirnya saat mereka sama-sama melempar penutup kepalanya, ternyata milik Mundingwangi berada dibawah milik Seych Atas Angin. Mundingwangi legowo menerima kekalahan tersebut dan kemudian masuk Islam.

Untuk proses penyucainnya, Mundingwangi dibawa ke Gunung Lawet. Disanalah rambut dan kuku beliau yang dimakamkan. Kemudian beliau bersuci dengan air zam-zam yang dibawakan aulia lain. Dan inilah alasan mengapa mata air di dekat makam ramai diambil peziarah sebagai "oleh-oleh". Sementara untuk menerima pelajaran pertama yang berisi Ketauhidan, Syech Atas Angin membawa beliau ke Gunung Kraton. Pada waktu "Syahadat" terucap, dikishkan semua gunung atau bukit yang mengelilinginya pun ikut tunduk mengakui kebesaran Alloh SWT. Hanya satu yang membangkang dan kemudian dinamakan Gunung Bengkeng. Dari situlah, Mundingwangi berganti nama menjadi Syech Jambu Karang. Karang dari Gunung Karang Banten, tempat awalnya dia bertapa. Sementara jambu adalah dari pohon jambudipa yang menaunginya saat menerima ajaran pertama. Dan setelahnya bersama-sama Kyai Santri, Syech Jambu Karang menempati Gunung atau Ardi Lawet.

BERPUTRI RUBIAH BEKTI

Setelah bertahun-tahun menetap di Ardi Lawet, Syech Jambu Karang memiliki seorang putri bernama Rubiah Bekti. Ada dua pendapat mengenai asal usul sang putri. Pertama karena Kehendak Sang Maha, maka dari sebuah jantung pisang lahirlah Rubiah Bekti. Pendapat lain mengatakan jika Rubiah Bekti adalah putri Ki Telun ( orang yang ditugaskan Raja untuk membuka pengalasan kulon dan beranak pinak disna). Ki Telun ini seorang tuna netra yang ahli memanjat pohon kelapa dengan selalu mengendong Rubiah Bekti karena ibunya meninggal. Dikarenakan iba, Rubiah Bekti pn diangkat anak oleh Syech Jambu Karang.

Saat dewasa, Rubiah Bekti disuruh menemui Syech Atas Angin. Sang putri dipesaninya untuk tidak menolah ilmu atau perintah apa saja yang diberikan. Lambat laun, Syech Atas Angin yang masih sendiri merasa jika Rubiah Bekti adalah sosok paling tepat untuk dijadikan pendamping. Ketika akan menikah dan membutuhkan wali, Rubiah Bekti mengaku tidak tahu siapa ayahnya (sesuai pesan Syech Jambu Karang untuk tidak membuka jati diri). Namun setelah 40 hari menikah, Rubiah Bekti mengaku ingat pada orang tuanya yang bermukim di Gunung Lawet tapi tidak pernah tahu namanya.Syech Atas Angin pn terkejut dan segera teringat muridnya yang bermukim disana. Setelah ditemui, ternyata benar jika orang tua istrinya adalah muridnya sendiri. Karena perubahan status itulah, kemudian Syech Jambu Karang menjadi di"tua"kan.

Dalam perjalanan kereligiannya, Syech Jambu Karang telah menyempurnakan rukun Islam dengan berhaji dan mendapat julukan Haji Purwa.

TRAVELLING

Setelah mengetahui sejarahnya, saatnya menapaktilasi perjalanan Syech Jambu Karang di Ardi lawet ini. Dengan kemiringan 70 derajat dan jarak 4 km para pemula bisa mencapai puncaknya maximal 3 jam.

 ...yah, tulisan pintu masuknya baru saja ditutup cat.... (Juni 2013)

Dari pintu gerbang bertulisankan "pintu masuk petilasan Ardi Lawet", kita akan mulai menanjak melewati perkampungan. Dari sini bukit Tembeleng yang dikenal wingit dan menjadi tempat larangan pendakian akan terlihat di sebelah kanan. Dahulu, dikisahkan Syech Jambu Karang pernah berencana bertapa di bukit ini. Namun karena dirasa masih dekat pemukiman, beliau pun melanjutkannya sampai ke Gunung Kraton. 

 bukit Tembeleng

Setelah menemukan gerbang pertama yang disebut dengan peron, kita akan melewati Makam Kyai Kunci, tepat dibelakang gerbang. Kyai Kunci adalah orang pertama yang merawat makam Beliau. Dan tradisi ini masih terus dilanjutkan anak keturunannya.

Selanjutnya jalan naik akan terus semakin terasa. namun berhentilah sejenak di Penglerenan Watu. Ada beberapa batu besar disini. Dan inilah tempat untuk melihat view menarik dan cantik dibawah sana. Saat malam, mata serasa disuguhi cahaya kunang-kunang sejauh mata memandang. Penglerenan Watu berati pemberhentian batu. Dulu, Syech Jambu Karang pernah berniat membangun padepokan diatas. Sayangnya sebelum sampai diatas, fajar sudah lebih dulu datang. Dan rencana itupun digagalkan dengan tetap membiarkan batu-batu itu disini.

Puas beristirahat di Penglerenan Watu, saatnya terus menanjak. Dan inilah tanjakan terpanjang menuju Ardi Lawet. Mitosnya, jika tanjakan ini berhasil ditaklukan maka cepat atau lambat sampai juga di puncak. Dan sekira 1 km dari Pengleranan Watu tadi, terdapat Lemah Growong. Tempatnya agak sedikit menurun dan konon tembus dari timur ke barat.

Setelah Lemah Growong dimana posisi agak naik sedikit akan ditemukan makam salah seorang murid beliau di bawah pohon nangka. Bagi yang percaya, jika pasangan yang sudah lama mendamba keturunan akan dapat terkabul kalau saja menemukan buah babal atau nangka muda untuk dimakan.

Kemudian kita akan melewati lemah simebut. Perlu ekstra hati-hati saat melangkah di jalanan ini. Banyaknya lumut membuat jalanan ini terasa lebih licin dibanding yang lain. Dan,... tak terasa puncak pun sudah didepan mata. Pengunjung pun bisa transit di pakerisan. DImana disekitarnya ada mushola kecil, warung makan dan tangga menuju makam.

Cungkup makamnya terbuat dari kayu beratap ijuk berbetuk srotong. Anak tangganya cukup banyak. Ada yang menyebut 99 buah seperti halnya Asmaul Husna. Ada juga yang menghitungnya lebih dari 100. Namun menurut Mulyono, mereka yang "beruntung" adalah yang mendapati jumlah anak tangga yang sama saat naik dan turun.

Makam ini dipercaya sebagai tempat disemayamkannya rambut, kuku dan pakaian Syech Jambu Karang. Dan seperti halnya bangunan makam para tokoh besar, tempat inipun tidak dibuka sepanjang waktu. Tidak juga setiap berkunjung kita bisa bertemu sang kuncen dan masuk ke dalamnya.

PENINGGALAN

Semula saya berpikir jika mushola diatas adalah bangunan peninggalan Syech Jambu Karang. Ternayat bukan. Mushola itu dibangun pada 1987 guna mempermudah ibadah para peziarah. Masjid peninggalan beliau justru terletak di Panusupan, namun juga sudah dipugar total.

Satu lagi yang menjadi peninggalannya adalah pondasi batu di bawah cungkup (tempat ini terlihat seperti tebing batu) yang dulu direncanakan dijadikan pesanggrahan.

PENGALAMAN



Banyak orang bercerita, setiap orang bahkan dalam satu team pun akan memiliki kisah personal setiap naik kesana. Namun jangan sampai hanya kesan "njarem" yang didapatkan usai naik ke Ardi Lawet. Karena pada hakikatnya kata Lawet itu sendiri berasal dari kata Khalwat (mendekatan diri pada Alloh SWT. bahasa Arab). Sehingga perjalanan ini semestinya pun bis amenjadi sarana untuk kita lebih dapat memaknai keagungan Sang Maha.

( matur suwun kagem Pak Mulyono )



Komentar

  1. Mantap infonya,,, tadi saya baru dari ardi lawet tp sayang pak mulyono sedang gerah kena kanker lidah ,,mudah2n cepet sembuh :-(

    BalasHapus
  2. Wah, saya malah baru tau Mas... Terakhir smsan akhir tahun lalu, Beliau ndak cerita apa-apa.. Matur nuwun infonya Mas.. Nggeh Amiiieeennn, semoga cepat dikasih kesehatan kembali ya pak Mul...

    BalasHapus
  3. Mksh.infonya.jd tmbh ilmu tmbh wawasan
    Kmarin ksana tp cuma ikut ikutan aja.

    BalasHapus
  4. Insya Allah bulan depan berkunjung ke sana dengan tujuan baik

    BalasHapus

Posting Komentar